BELAJAR POLITIK PADA RASULULLAH

BELAJAR POLITIK PADA RASULULLAH

menurut Al-Qarafi, adalah “status tambahan yang diberikan selain sebagai nabi, rasul, mufti, dan hakim”. Menurut beliau, posisi Nabi Muhammad sebagai pemimpin adalah mengatur kebijakan politik yang bersifat umum, menentukan kebijakan untuk kesejahteraan masyarakat, mencegah terjadinya kerusakan, dan lain sebagainya. Dan hal-hal ini dipisahkan dari status Rasulullah sebagai pemberi fatwa, nabi, hingga pemberi risalah karena konteks yang berbeda satu sama lain.

Karena tindakan ini bersifat khusus, maka senantiasa berkaitan dengan dimensi ruang dan waktu siyasah itu dijalankan, lebih-lebih konteks yang terjadi di dalamnya. Dalam hal ini Ibnu Qayyim menegaskan bahwa politik yang dijalankan berkaitan dengan siyasah juz’iyyah, yaitu politik yang berkaitan dengan “kemaslahatan sebuah komunitas di waktu, tempat dan kondisi tertentu”. Oleh sebab itu, politik, siyasah, atau apapun tindakan Nabi sebagai pemimpin, bukanlah sesuatu ‘tindakan hukum yang bersifat umum’ yang harus ditegakkan sama persis di seluruh belahan dunia.

Ungkapan-ungkapan tersebut menunjukkan bahwa tindakan Nabi dalam siyasah adalah ijtihad yang berorientasi duniawi. Sedangkan prinsip dasar dari siyasah adalah hikmah dan maqashid. Piagam Madinah adalah contoh nyata tentang orientasi kemaslahatan umum dalam kehidupan bersama antar umat beragama dalam berbangsa dan bernegara.

Pemahaman terhadap tindakan politik Nabi yang ‘tidak menentu’, memberi kesimpulan mengenai kebebasan menentukan kebijakan-kebijakan politik suatu masyarakat, termasuk sistem yang dianut. Maka Islam, secara garis besar membuka lebar-lebar kesempatan bagi umatnya untuk menunjukkan potensinya dalam mencapai kesejahteraan hidupnya melalui kesepakatan bersama, berlandaskan nilai-nilai luhur Islam seperti adil, jujur, amanah, dan musyawarah.

Ketika kita benar-benar memahami bahwa tindakan Nabi dalam hal berpolitk adalah jenis tindakan bersifat khusus meski punya implikasi hukum, hal tersebut semestinya membuat kita lebih berhati-hati dalam memahami konteksnya, karena tindakan-tindakan tersebut senantiasa memerhatikan konteks ketika Nabi melakukannya, dan itu sejatinya menunjukkan prinsip-prinsip umum tentang politik, bukan spesifikasi tindakan dan keharusan tindakannya.

Wallahu A’lam.

Komentar Anda

Previous Post Next Post