Istanbul, satu-satunya kota yang terletak di dua benua —Asia dan Eropa-, tampaknya memiliki daya pikat yang luar biasa. Banyak buku telah ditulis mengenai kota tua ini. Sastrawan Nobelis Orhan Pamuk menulis Istanbul: Memories and the City, lalu Hilary Sumner-Boyd menulis Strolling through Istanbul, dan John Cleave menulis Istanbul: City of Two Continents.
Baru-baru ini saya membaca buku Istanbul: Kota Kekaisaran, karya John Freely. Edisi bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Alvabet, Maret 2012, kira-kira 16 tahun setelah edisi bahasa Inggrisnya. Buku yang menarik dan berharga tidak pernah lekang oleh waktu. Lagi pula, buku ini mengasyikkan untuk dibaca.
John Freely mengajak kita menjalani tamasya historis di sebuah kota yang sudah ada kira-kira 2.600 tahun yang silam. Kita diajak menyusuri sudut-sudut kota, mengunjungi jejak-jejak sejarah yang kini tersimpan di museum dan monumen, serta memasuki lorong waktu menuju masa silam ketika kota ini masih merupakan koloni Yunani kuno. Sebuah polis atau negara kota yang kala itu bernama Byzantium. Penguasa datang silih berganti, dari yang demokratis, kadang-kadang oligarkis, hingga sekali-dua tiranis.

Distrik di Istanbul
Sejak masa yang jauh, kota ini menarik bukan hanya karena topografi tanahnya, tapi juga nilai strategisnya. Terletak di dua benua, kota ini dibelah oleh selat yang sangat penting, Bosporus, yang membentang hingga menjangkau Laut Hitam. Tak heran bila Byzantium diperebutkan oleh banyak penguasa. Di kota persilangan ini berlangsung interaksi berbagai budaya.
Byzantium sudah berusia 1.000 tahun ketika Konstantin Agung menjadikannya ibu kota Kekaisaran Romawi pada 300 Masehi. Sejak itulah, kota ini dijuluki Konstantinopel atau kota Konstantin. Seorang sejarawan masa itu, bernama Procopius, menggambarkan Konstantinopel sebagai ‘kota yang dikelilingi karangan bunga air’.
Bangsa Turki di bawah kepemimpinan Sultan Muhammad Al-Fatih (Mehmet II) kemudian merebut dan menguasai Konstantinopel pada 1453 dalam sebuah peperangan yang dramatis. Sultan berusia 21 tahun ini kemudian menjadikannya ibu kota Kekaisaran Usmani dengan nama Istanbul.
Selama 470 tahun, Kekaisaran Usmani berkuasa hingga zaman berubah. Seorang Kemal Ataturk memimpin revolusi pada 1923 dan mendirikan apa yang disebut sebagai Turki modern yang berdiri di atas landasan nasionalisme dan berbentuk republik. Ataturk memindahkan ibu kota ke Ankara sebagai simbol pemutusan hubungan dengan masa lampau, baik Kekaisaran Usmani maupun Kekaisaran Romawi, yang telah menjadikan Konstantinopel atau Istanbul sebagai ibu kota kekaisaran.
Dalam rentang waktu yang sangat panjang itu, banyak peristiwa terjadi di kota tua yang membuat John Freely tertawan hatinya. Semula ia menetap di Istanbul untuk mengajar fisika, dan setelah itu melanglang ke berbagai kota lain di Eropa, namun akhirnya ia kembali ke Istanbul. Ia menghabiskan masa tuanya sebagai dosen sejarah ilmu pengetahuan. Ia berbagi pengetahuan dan pengalamannya yang kaya mengenai Istanbul lewat ceritanya yang menawan.
John Freely memandu kita menapaki fakta historis dan merasakan bagaimana kota ini menjadi saksi beragam peristiwa dalam rentang waktu 2.600 tahun. Kota ini sanggup bertahan dari pengepungan, penjarahan, penaklukan, perang saudara, huru-hara, wabah, kebakaran, gempa bumi, dan juga proyek-proyek pembangunan modern sejak era republik.
Walaupun berbagai bangsa, mulai dari Yunani, Makedonia, Romawi, Byzantine, pasukan salib, bangsa Turki, bangsa Sekutu di Eropa, minoritas Latin, Armenia, Yahudi, Arab, Bulgaria, Albania, Rusia, dan kelompok etnis lainnya pernah mendiami kota ini, menurut Freely, karakter dan rohnya tetap bertahan sampai kini, seolah memiliki jiwa yang kekal. Perubahan dalam agama, bahasa, status politik, maupun nama tidak menggoyahkan karakter kota tua ini.

Pemandangan kota Istanbul
Empat belas abad yang silam, saat menggambarkan topografi kota imperial di Bosporus ini, Petrus Gyllius menulis: “Aku merasa, sementara kota-kota lain adalah kota yang fana, kota ini akan bertahan selama ada manusia yang hidup di permukaan bumi.” Freely mampu menghidupkan apa yang dibayangkan oleh Gyllius lewat tuturan yang tidak membosankan sepanjang hampir 500 halaman.
Istanbul bisa disebut satu dari sekian banyak kota besar dan tua yang menyimpan sejarah panjang. Dilihat dari sudut sejarah, Kota Istanbul tidak saja tergolong unik, tapi juga merekam jejak tiga kekaisaran besar dunia. Istanbul secara berurutan pernah menjadi ibu kota kekaisaran Byzantium, Romawi dan Usmani. Lebih dari itu, Istanbul, tak bisa ditepis, adalah kota legenda dunia, terletak di dua benua yang dibelah oleh Bosporus, selat indah yang memisahkan Eropa dan Asia antara Marmara dan Laut Hitam.

The Bosphorus Bridge
Keunikan Istanbul itulah yang mengundang minat John Freely, sebagai penulis buku perjalanan dan sejarah (di antaranya meliputi sejarah tentang Athena, Venesia, Turki, Yunani, dan Kekaisaran Ottoman), untuk melakukan “kajian mendalam” tentang kota itu, yang kemudian dituangkan dalam buku Istanbul: Kota Kekaisaran ini.
Maklum, sebagai kota tua, Istanbul menyimpan jejak kenangan sejarah kurang lebih 26 abad. Selama rentang waktu itu, Istanbul telah berkali-kali digulung prahara politik, yang kemudian diikuti dominasi status agama, bahasa, hingga pranata hukum.
Tetapi, kota tua itu tidak tergerus zaman. Dalam lintasan sejarah, dulu kota kekaisaran itu, yang dikenal dengan nama Byzantium, merupakan koloni Yunani. Dalam catatan Herodotus, Byzantium didirikan 17 tahun setelah pendirian Khalsedon. Banyak negara mengakui dan mengklaim memiliki peran penting dalam pendirian Byzantium.

Peta sistem transportasi kota istanbul
Tetapi, sebagian besar sejarawan klasik dan modern berpendapat bahwa Megara adalah pendiri pertama Byzantium (hal 12). Dilihat dari sudut politik, Byzantium memiliki nilai strategis. Maklum, kota itu dikelilingi “karangan bunga air” di Selat Bosporus yang membelah Eropa dan Asia.
Tak salah bila kota itu jadi rebutan banyak penguasa, termasuk kekaisaran Romawi. Bahkan, kota itu diperkirakan oleh John Freely berusia 1.000 tahun saat Konstantin Agung menjadikannya ibu kota kekaisaran Romawi (pada 330 M). Sejak itu, Byzantium diubah menjadi Konstantinopel, Kota Konstantin Agung. Kendati demikian, beberapa orang menyebut kota itu dengan Stamboul, dan orang Yunani selalu menyebut Constantinopolis atau dalam bahasa Inggris sebagai Constantinople, dan dalam bahasa Indonesia sebagai Konstantinopel.

Mesjid Sultan Ahmad
Setelah menjadi “ibu kota” kekaisaran Romawi, akhirnya pada 1453, bangsa Turki di bawah kepemimpinan Sultan Mehmet II merebutnya. Konstantionopel pun dijadikan ibu kota kekaisaran Usmani, dengan nama Istanbul. Pada 1923, kekaisaran Usmani berakhir setelah pendirian Turki modern. Ibu kota negara kemudian dipindah ke Ankara, dan Istanbul tak lagi menjadi ibu kota kekaisaran dunia walaupun pada tahun-tahun setelah itu tetap menjadi kota paling penting di Turki (hal 4-5).
Selama lebih kurang 2.600 tahun, Istanbul tidak saja memiliki sejarah panjang sebagai kota kekaisaran, tapi lebih dari itu, secara geografis, mengundang decak kagum pelancong karena keindahan yang luar biasa bagi peradaban dunia. Kota itu terletak di Selat Bosporus sehingga dikenal dengan “kota yang dikelilingi kalung air.”

Pantai agva yg indah
John Freely, penulis kelahiran New York pada 1926 ini, tidak menjadikan buku ini sebagai buku sejarah, tapi sebuah tofografi Istanbul. Freely sendiri, pada 1960, memutuskan hijrah ke Istanbul untuk mengajar fisika di Bogazici University. Maka, dia pun bercerita banyak tentang keindahan Kota Istanbul dan kehidupan sosial penduduk sejak permukiman paling awal sampai sekarang.
Itulah keunikan, keindahan, dan karakter sejati Kota Istanbul. Lewat buku ini, Freely tak saja mengenalkan sejarah kota, tetapi seolah-olah menarik dengan kuat hati pembaca untuk tergerak mengunjungi Istanbul.
Diresensi N Mursidi, peneliti
Judul buku : Istanbul: Kota Kekaisaran
Penulis : John Freely
Penerbit : Pustaka Alvabet, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2012
Tebal : 476 halaman
Harga : Rp67.000