Mengenang Sultan Agung (Mataram)

Mengenang Sultan Agung rahimahullah

Sultan agung Hanyakrakusuma adalah Raja Besar dalam sejarah kesultanan Mataram, beliau dua kali menyerang maskapai dagang VOC di Batavia, meski akhirnya gagal.

Di bawah kepemimpinan Sultan Agung, Mataram melakukan Islamisasi besar-besaran melalui pendidikan Islam massal kepada masyarakat. Di setiap kampung diadakan tempat untuk belajar membaca Qur’an, tata cara beribadah dan tentang ajaran dasar Islam seperti rukun iman dan rukun Islam. Saat itu, apabila ada anak berusia 7 tahun belum bisa membaca Qur’an, ia akan malu bergaul dengan teman-temannya. Selain itu juga dilakukan penerjemahan kitab-kitab besar berbahasa Arab dalam kajian yang bersistem bandongan (halaqah). Kitab-kitab itu meliputi kitab Fiqih, Tafsir, Hadits, Ilmu Kalam dan Tasawuf. Juga Nahwu, Sharaf dan Falaq. Sistem kalender juga disesuaikan dengan sistem Islam (Yunus, 1996 : 223-225).

Sayangnya, sepeninggal Sultan Agung, Mataram mulai suram. Rintisan yang dilakukan oleh Sultan Agung ini tidak dilanjutkan oleh pewarisnya, yakni Amangkurat I yang lebih memilih dekat dengan VOC dan berhadapan dengan kaum santri di bawah pimpinan Trunajaya. Ketergantungan militer pada VOC menyebabkan, penerusnya, yakni Amangkurat II tidak mempunyai pilihan kecuali memberikan sebagian pesisir kepada VOC. Hal ini membuat komunikasi dengan pusat-pusat Studi Islam di Asia Selatan dan Timur Tengah menjadi sulit (Woodward, 2008 : hal. 16-17).

Banyak sejarawan Indonesia menyebut para pengganti Sultan Agung adalah raja-raja lemah, karena berdamai bahkan tunduk pada VOC.

“Amangkurat I, segera setelah naik tahta, langsung mengikat perdamaian dengan Kompeni (VOC). Meneruskan perang sudah tidak ada gunanya,” tulis Bernard Hubertus Maria Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia (2008). Persehabatan itu membuatnya memperoleh banyak senjata, berlian dan barang lainnya dari VOC. Sebaliknya, kepada VOC, Amangkurat I kirimkan kayu dan beras.

Wafatnya Sultan Agung, disusul Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa, merupakan pukulan telak bagi Islam sebagai energi perlawanan utama saat itu. Namun pengaruh Islam tak kunjung surut meski Perang Jawa sudah lama usai. Pemberontakan yang dipimpin ulama, guru sufi, maupun mereka yang baru datang dari Tanah Suci meledak juga di Banten, Padang, dan Aceh.

Komentar Anda

أحدث أقدم